Konferensi Internasional ICORIS 2021

04 November 2021
    Admin

Dalam rangka memperkuat kolaborasi dan menyediakan forum bagi akademisi, profesional dan peneliti untuk berdiskusi serta bertukar hasil penelitian untuk memajukan bidang Teknologi Informasi, CORIS (Cooperation Research Inter University) menyelenggarakan acara tahunan berupa konferensi internasional yang diberi nama ICORIS (International Conference - The 3rd International Conference on Cybernetics and Intelligent Systems). Acara berlangsung pada hari Senin (25/10/2021) secara virtual.

Tuan rumah ICORIS 2021 ini adalah Universitas Dipa Makassar, dengan mengambil tema: Membangun Sistem Infrastruktur Tepercaya dengan Teknologi Blockchain Untuk Masyarakat 5.0. Acara dibuka dengan sambutan-sambutan oleh Dr. Eng. Wilem Musu, S.Kom., MT selaku ketua panitia, Dr. Y. Johny W. Soetikno, SE, M.M selaku Rektor Undipa Makassar, Dr. Ing. Wahyudi Hasbi, S.Si, M.Kom selaku Ketua IEEE, Prof. Dr.rer.nat. Achmad Benny Mutiara, SSi, SKom selaku Sekretaris Umum APTIKOM, dan Prof. Dr. Kusrini, M.Kom selaku Sekretaris Jenderal CORIS. Acara tersebut dimoderatori oleh Yesaya Tommy Paulus, Ph.D dari Undipa Makassar. 

Pembicara pertama dalam acara ini adalah Prof. Shigeichiro Yamasaki dari Universitas Kindai, Jepang. Beliau memulai presentasinya dengan mengajak semua peserta untuk mendefinisikan ulang tentang apa itu internet, dan kemudian berlanjut membahas mengenai blockchain. “Kita harus mengembangkan teknologi yang mewujudkan harapan dari blockchain. Orang mengharapkan penyimpanan bersama yang besar dan andal,” paparnya. Selain itu, orang juga membutuhkan sistem jaminan keterlacakan yang andal, karena itu merupakan infrastruktur bagi orang untuk mempercayai oracle, yang merupakan informasi eksternal di blockchain.

Lebih lanjut, Prof. Shigeichiro Yamasaki menyampaikan tentang tiga tema arsitektur kepercayaan berikutnya yang penting untuk mendefinisikan ulang blockchain, yaitu konsensus, desentralisasi, dan percaya pada oracle. “Bagaimana kepercayaan bekerja?” tanyanya. Kemudian beliau mengatakan bahwa banyak orang tahu bahwa bitcoin tidak memiliki admin, lalu mengapa bitcoin berfungsi dengan baik sebagai mata uang virtual atau aset kripto? Bitcoin tidak hanya tidak memiliki admin. Pihak-pihak yang bertransaksi juga tidak percaya satu sama lain. Namun, itu bukan berarti bahwa di sana tidak ada kepercayaan, karena kepercayaan pasti ada di bitcoin. Sehingga, bitcoin dapat diandalkan seperti lembaga keuangan.

“Apa itu kepercayaan?” tanya Prof. Shigeichiro Yamasaki. Beliau mengatakan, kepercayaan merupakan keyakinan bahwa orang yang menghadapi risiko dan ketakutan, memiliki kemantapan jiwa untuk mengatasinya serta mengambil tindakan positif. Beliau menukil definisi kepercayaan dari Roger Mayer, yakni kesediaan untuk mempercayakan kerentanan Anda kepada seseorang yang tidak dapat memantau atau mengendalikan tindakan yang diharapkan, yang penting bagi diri Anda sendiri. “Blockchain memiliki fungsi seperti tanah dimana kepercayaan muncul. Persemaian tempat kepercayaan bertunas dan tumbuh,” imbuhnya.

Menurutnya, ada wasit dalam permainan kepercayaan tanpa kepercayaan, atau trustless trust. Ada hukuman dalam pengertian teori permainan. Penipu dihukum dan keuntungan mereka dikurangi. Sebagai hasilnya, bisnis yang sehat menjadi mungkin. Mengirim uang dan mengirim barang memiliki keuntungan tertinggi. Di bitcoin, semua orang (simpul) menjadi wasit. Semua orang mengaudit transaksi dan memblokir. Lebih lanjut, Prof. Shigeichiro Yamasaki menuturkan bahwa pada dasarnya blockchain merupakan mesin konsensus. Sistem yang secara paksa menyelesaikan kontradiksi dengan mekanisme konsensus.

Blockchain mahal untuk digunakan sebagai sistem komputasi atau penyimpanan. Perhitungan kompleks dan pemrosesan data skala besar dilakukan di luar blockchain dan hasilnya diperoleh sebagai oracle. Oracle menghubungkan blockchain dan dunia nyata. Menurut Prof. Shigeichiro Yamasaki, oracle terpenting ialah manusia asli atau identitas digital. Manusia sebagai hewan polis akan berubah, dan polis kami (orang-orang Jepang) berkembang ke dunia maya. “Masyarakat 5.0 ialah masyarakat yang memiliki hubungan cyber-fisik-sosial. Teori evolusi sosial (sederhana) yang diyakini oleh pemerintah Jepang, yakni pada masyarakat sejati 5.0, ialah era dimana perusahaan di dunia digital memakan perusahaan dunia nyata,” pungkasnya.

Pembicara kedua dalam acara ini adalah Prof. Dr. Ing. Adang Suhendra dari Universitas Gunadarma, menggantikan Prof. Dr. E.S. Margianti, S.E., M.M. yang berhalangan hadir. Beliau membawakan materi presentasi berjudul: Mempersiapkan Sumber Daya Manusia - Investasi Masa Depan. 

Mengawali presentasinya, beliau memaparkan beberapa pengamatan umum selama pandemi covid-19. Menurutnya, beberapa industri sangat terpengaruh oleh pandemi, yang secara dramatis mengurangi permintaan. Teknologi juga dapat membantu mereka, tetapi tidak ada yang secara substansial dapat membalikkan kurangnya permintaan, seperti dalam bidang transportasi, terutama udara, kapal pesiar, taksi, dan lain-lain. Kurangnya perjalanan menurunkan permintaan minyak dan gas. Belum bidang-bidang lain yang juga terdampak, seperti pariwisata, perhotelan, industri akomodasi, dan sebagainya.

Banyak transformasi digital bermunculan di masa pandemi covid-19 ini. Membawa kita semakin dekat ke masa depan dengan era serba digital yang mana sebelumnya masih menjadi angan-angan. Masyarakat banyak melakukan belanja lewat online untuk meminimalisasi kerumunan, pembayaran dengan sistem digital semakin diminati, budaya bekerja dari rumah semakin marak, pembelajaran atau seminar dan berbagai pelatihan juga gencar diselenggarakan secara daring.

Menurut Prof. Dr. Ing. Adang Suhendra, kiprah dari ekosistem digital akan terus meningkat seiring majunya perkembangan zaman. Sehingga dibutuhkan talenta-talenta spesifik guna memperlancar kesuksesan bisnis digital. Sementara untuk talenta yang dibutuhkan, tetapi masih kurang dimiliki, antara lain ialah keterampilan digital dan keberanian mengambil risiko.

Lebih lanjut, beliau juga mengutip studi yang dilakukan Korn Ferry terkait defisit bakat digital. Studi yang dilakukan pada tahun 2016 tersebut mengungkapkan bahwa sejumlah perusahaan tradisional berjuang mendapatkan talenta digital (tech talent) yang mereka butuhkan untuk memenuhi permintaan klien serta melakukan transformasi operasional secara digital.

Sebelum pandemi COVID-19, Talent Crunch menyatakan bahwa Indonesia telah menghadapi krisis talenta di mana defisit pekerja terampil dengan pendidikan tinggi (level A) akan mencapai 1,3 juta pada tahun 2020 dan mengalami penurunan pada tingkat 11,2% per tahun menjadi 3,8 juta pada tahun 2030. Itu setara dengan 29,9% dari angkatan kerja level A Indonesia pada tahun 2030.

Terakhir, Prof. Dr. Ing. Adang Suhendra memaparkan tentang AI sebagai multidisiplin, baik itu matematika, ilmu komputer, teknik, psikologi, linguistik, ekonomi, medis, media, dan sebagainya. Meskipun orang-orang dalam lintas bidang tersebut belum pernah bertemu atau bekerja sama sebelumnya, tetapi mampu menghasilkan inovasi. Sehingga penting untuk menumbuhkan sikap saling membutuhkan, mengenal bidang lain, dan kemauan bersinergi.

Maka dari itu, dalam presentasinya beliau mendorong kolaborasi penelitian dan inovasi industri. Pemerintah menetapkan tantangan besar, menentukan target, membuat kebijakan dan regulasi, serta pendanaan. Kemudian industri menentukan studi kasus, menyediakan data, merumuskan syarat dan ketentuan, juga pendanaan. Lalu akademisi. menerapkan hasil penelitian mendasar, memahami masalah di dunia nyata, mengakses data dan studi kasus dari industri. Sementara masyarakat berpartisipasi dengan mendorong kerja sama antar masyarakat dan memberikan solusi.

Selain itu juga diperlukan adanya kerangka strategi nasional Indonesia untuk AI, yakni mempersiapkan talenta AI yang kompetitif dan memiliki spesialisasi, untuk menciptakan AI yang beretika dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Sehingga, menurut beliau, dibutuhkan koordinasi antara ekosistem penelitian dan mempercepat pertumbuhan inovasi industri kecerdasan buatan yang memiliki dampak luas kepada masyarakat. Hal ini bisa dimulai dengan menyediakan ekosistem dan infrastruktur data yang mendukung kontribusi AI terhadap pembangunan nasional.